Masa kolonial membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat di Indonesia. Salah satu dampak paling mencolok adalah perbedaan antara kehidupan di kota dan desa. Kota berkembang sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, dan industri, sementara desa tetap menjadi pusat pertanian dengan kondisi yang sering kali jauh lebih sulit. Artikel ini akan mengulas perbedaan mencolok antara kehidupan kota dan desa di masa penjajahan.
1. Pusat Pemerintahan vs. Pusat Pertanian
Kehidupan di Kota: Pusat Pemerintahan dan Perdagangan
Di bawah pemerintahan kolonial, kota-kota besar seperti Batavia (Jakarta), Surabaya, dan Semarang menjadi pusat administrasi dan perdagangan. Kota memiliki berbagai fasilitas yang lebih maju dibandingkan dengan desa, seperti:
- Gedung pemerintahan kolonial yang mengatur berbagai kebijakan.
- Kantor dagang dan pelabuhan untuk ekspor dan impor barang.
- Jalan raya, jembatan, serta jalur kereta api yang lebih berkembang untuk mendukung mobilitas ekonomi.
Penduduk kota umumnya terdiri dari pejabat kolonial, pedagang, serta masyarakat pribumi yang bekerja sebagai pegawai rendahan atau buruh industri.
Kehidupan di Desa: Pusat Produksi Pertanian
Sementara itu, desa tetap menjadi pusat produksi bahan pangan dan komoditas ekspor seperti:
- Padi, kopi, gula, dan rempah-rempah yang ditanam untuk kepentingan ekspor ke Eropa.
- Sistem kerja paksa dan pajak tanah yang memberatkan masyarakat desa.
- Minimnya infrastruktur, seperti jalan dan jembatan, membuat desa sulit berkembang.
Penduduk desa umumnya bekerja sebagai petani yang kehidupannya tergantung pada kebijakan kolonial yang sering kali tidak berpihak kepada mereka.
2. Standar Hidup dan Fasilitas Publik
Di Kota: Fasilitas yang Lebih Lengkap, tapi Penuh Ketimpangan
Masyarakat kota menikmati fasilitas yang lebih baik, terutama bagi kaum elit dan pejabat kolonial. Beberapa kemudahan yang tersedia di kota antara lain:
- Rumah sakit dan klinik modern untuk orang Eropa dan golongan elite pribumi.
- Sekolah-sekolah elit, seperti ELS (Europese Lagere School) untuk anak-anak Belanda dan sekolah HIS (Hollandsch-Inlandsche School) untuk pribumi dari keluarga berada.
- Pasar dan pusat perbelanjaan, tempat perdagangan berbagai barang impor dan produksi lokal.
Namun, fasilitas ini hanya dapat di nikmati oleh segelintir orang. Masyarakat pribumi kelas bawah yang tinggal di kota sering kali hidup dalam kondisi kumuh di pinggiran atau kawasan yang di tentukan oleh pemerintah kolonial.
Di Desa: Minimnya Akses terhadap Pendidikan dan Kesehatan
Sebaliknya, desa sangat tertinggal dalam hal fasilitas umum:
- Sekolah sangat terbatas, dan sebagian besar anak petani tidak mendapatkan pendidikan formal.
- Layanan kesehatan hampir tidak ada, sehingga banyak penduduk desa mengandalkan dukun atau tabib tradisional.
- Air bersih dan sanitasi buruk, menyebabkan tingginya angka penyakit dan kematian.
Kondisi ini membuat desa semakin tertinggal dibandingkan dengan kota.
3. Kesempatan Ekonomi dan Sosial
Peluang di Kota: Pekerjaan dalam Industri dan Perdagangan
Meskipun kota menjadi pusat pemerintahan kolonial, masyarakat pribumi masih memiliki kesempatan untuk bekerja, meskipun dalam posisi rendah.
- Ada yang bekerja sebagai pegawai kantor, buruh pabrik, kuli pelabuhan, dan pedagang kecil.
- Muncul golongan priyayi yang bekerja di pemerintahan sebagai pegawai rendahan.
- Beberapa pengusaha pribumi mulai berkembang di sektor perdagangan, meskipun tetap dibatasi oleh peraturan kolonial.
Peluang di Desa: Bertani dengan Sistem Eksploitasi
Di desa, pilihan pekerjaan lebih terbatas karena hampir seluruh penduduk bekerja sebagai petani atau buruh perkebunan.
- Sistem Cultuurstelsel (Tanam Paksa) yang diterapkan Belanda membuat petani harus menyerahkan sebagian hasil panennya kepada pemerintah.
- Petani juga dikenakan pajak tinggi yang semakin memperburuk kondisi ekonomi mereka.
- Minimnya akses ke pasar dan modal membuat petani sulit untuk berkembang secara ekonomi.
4. Perbedaan Gaya Hidup dan Budaya
Di Kota: Pengaruh Budaya Barat
Kota menjadi pusat modernisasi dengan masuknya pengaruh budaya Eropa.
- Pakaian bergaya Barat mulai dikenakan oleh kalangan priyayi dan kaum elit.
- Hiburan seperti bioskop, teater, dan musik klasik mulai diperkenalkan di kalangan atas.
- Bahasa Belanda digunakan di sekolah-sekolah dan kantor pemerintahan.
Namun, di balik gemerlapnya kota, kaum pribumi tetap mengalami diskriminasi sosial dan ekonomi.
Di Desa: Tradisi yang Tetap Terjaga
Sebaliknya, desa tetap mempertahankan budaya tradisional:
- Pakaian adat dan batik masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
- Sistem gotong royong dan kehidupan komunal tetap kuat.
- Wayang, gamelan, dan seni tradisional menjadi hiburan utama masyarakat desa.
Desa menjadi simbol ketahanan budaya lokal di tengah modernisasi yang berkembang di kota.
Kesimpulan
Perbedaan antara kehidupan kota dan desa di masa kolonial sangat mencolok, baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun budaya. Kota berkembang sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan dengan fasilitas yang lebih baik, tetapi juga penuh dengan kesenjangan sosial. Sementara itu, desa tetap menjadi pusat pertanian dengan kondisi hidup yang sulit dan terbatasnya akses terhadap pendidikan dan kesehatan.
Warisan ketimpangan ini masih terasa hingga saat ini, di mana pembangunan di kota jauh lebih pesat di bandingkan dengan desa. Dengan memahami sejarah ini, kita dapat lebih bijak dalam membangun masa depan yang lebih adil bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Baca Juga Artikel Berikut Di : Artikeltembakikan.com